Be Kind

Apapun kita telah menjadi hari ini, dengan segenap kelemahan & kelebihan yang kita miliki dan raih sepanjang hidup, akan selalu ada hari-hari dimana batin kita mengalami kekacauan. Betapapun kuatnya mental dan emosi kita, akan selalu ada dorongan dari dalam maupun hal-hal di luar diri kita yang coba untuk mengacaukan pikiran dan menggeser sedikit rencana-rencana kita.

Di sepanjang jalan, kamu akan sering menyaksikan betapa banyaknya orang yang terus berjalan menjalani kehidupan, namun dengan kepala yang kalut, dengan pikiran yang penuh kekacauan; tekanan dari atasan, kata-kata yang merendahkan harga diri dari rekan kerja dan juga bos, memikirkan biaya hidup, anggota keluarga yang sedang sakit dan butuh biaya perawatan, dan bahkan ada yang masih memikirkan harus makan apa malam ini karena tidak punya cukup uang hanya sekedar untuk membeli makanan.

Kamu bisa saja memilih menjadi acuh tak acuh, sinis dan bahkan tertawa sarkas melihat ratusan ekspresi manusia lalu-lalang di hadapanmu setiap hari; atau kamu bersyukur dalam kedengkian, ternyata hidupmu tidak seburuk mereka.

Kamu tahu dengan persis, pada zaman ini, banyak sekali penyakit generasi yang menjangkiti, bahkan kehilangan harapan, ketiadaan makna hidup adalah faktor paling besar yang menjadi alasan orang-orang untuk mengakhiri hidupnya.

Kamu mungkin tidak harus peduli urusan orang lain, bahkan jika anak-anak itu bunuh diri, itu hanyalah statistik dalam data pada berita yang rilis di kora esok hari, atau mungkin sebuah breaking news hari ini. Karena banyak orang tidak benar-benar peduli dengan penderitaan orang lain, mereka hanya menonton peristiwa bunuh diri, melihat dengan detail siapa korbannya, lalu berkomentar negatif; “sayang sekali dia masih muda; betapa bodohnya ia tidak memikirkan orang tuanya hingga melakukan perbuatan dosa itu”.

Begitupun dengan mu, kamu bebas untuk berkomentar apapun, menjadi seragam dengan mereka yang melabeli diri sebagai netizen, masyarakat pasca teknologi, bersenjatakan smartphone pintar dan turut berkontribusi dalam sebuah viralnya berita dan merasa bangga turut ikut menjadi bagian tersebut.

Atau kamu bisa memilih menjadi sesuatu yang berbeda, tampak aneh, sangat rapuh dan mengambil tidakan untuk tidak turut menjadi bagian dari pelaku yang menyebabkan orang-orang mengalami kekacauan mental, kehilangan kontrol diri, merasa tidak berguna, kehilangan dorongan untuk bertahan hidup, mengalami kehampaan dan kehancuran makna, meskipun hanya kamu sendiri yang berada pada posisi itu.

Di sebuah ruangan kantor, panggilan dari atasan untuk menghadap adalah alarm dari neraka, notifikasi peringatan, kemarahan dan kata-kata menghardik adalah pisau tajam yang langsung menghujam ke dalam batin seseorang bawahan, seorang karyawan yang hanya ingin mencari sekeping kehidupan di perusahaan tersebut.

Kamu pernah menjadi seorang atasan, di perusahaan yang sangat toxic, dimana bagan organisasi adalah susunan sang pengadil, bak malaikat maut, siap mencabut nyawa para bawahan yang tidak mampu menjalankan jobdesk dengan sempurna, yang siap menghujam dan memukul batin mereka yang tidak sempurna dalam tugasnya. Dan, betapa buruknya hidup, menjadi pemakan jiwa orang lain, tanpa belas kasih, mengeluarkan kata-kata seperti memuntahkan cacing dari mulut ke mulut para bawahan yang terpaksa menelannya jika masih ingin bertahan. Dan, yang paling gelap, menjual jiwa, menggadaikan tubuh pada para hakim ini demi tetap menerima slip gaji di akhir bulan.

Dan mereka yang lemah dalam kuasa, terus mendorong batu ke puncak gunung, sebuah permainan yang sudah jelas tidak pernah bisa dimenangkan, bahkan jika harus menua dan mati setelah bekerja seumur hidup, tidak ada akhir yang bahagia, namun mereka semua harus terus menjalaninya; menukar waktu dengan kesehatan, menukar kesehatan dengan slip gaji, menukar slip gaji untuk membiayai kesehatan setelahnya.

Pada siklus ini, semua terjebak; dan semua kepala begitu kalut, semua hati begitu kosong, trauma saat tidur dan mengalami mimpi buruk lalu bangun pagi untuk menjalani siklus yang berulang.

Tapi, kamu yang menyadari, tidak harus menjadi seperti sang pengadil, yang menjadikan kesempurnaan sebagai tolak ukur penilaian. Manusia, dengan batin yang terluka, air mata yang tumpah di sudut-sudut toilet, teriakan yang kencang di tengah hujan, dan keinginan untuk tetap hidup walau 24 jam lagi demi anak istri dan keluarga. Kamu tidak pernah tahu apa isi kepala manusia setiap detiknya, kekesalan, kemarahan, caci maki, hanyalah ekspresi dari data pada kehidupan mereka bahwa setiap mereka menanggung masalah yang sangat berat masing-masing.

Semua orang baik, pada mulanya, sebelum siklus jahat ini meracuni hati dan otak mereka, menjadikan mereka kejam, atau tumbal yang kalah dalam proses berkehidupan.

Dan kamu yang menyadari, tetaplah menjadi manusia, melihat semua manusia sebagaimana adanya, mereka yang kesal dan marah hanya ingin meluapkan apa yang berada pada batin mereka saat itu, karena tidak bisa meluapkannya di depan atasan-atasan maha sempurna dan maha menguasai jiwa bawahannya.

Setiap kamu bertemu jiwa-jiwa yang menderita, mereka hanyalah cermin bagi dirimu, untuk terus ingat dan tidak melupakan sedikitpun bahwa kalian semua hanyalah manusia; bahwa setiap kalian semua adalah anak kecil dahulu dihadapan ibu yang melahirkan, hanyalah seorang anak yang pernah menderita sepanjang hidup, dan terus menanggung penderitaan untuk sekedar melanjutkan hidup.

Begitulah kehidupan, jangan lupa untuk tetap menjadi manusia, menjadi baik sebisa mungkin. Karena itu adalah akar kita, jangan pernah lupakan darimana kamu berasal.

be kind, be human.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *